Membandingkan Komentar Positif dan Negatif


Komunikasi menjadi salah satu hal penting dalam pengasuhan anak. Banyak yang mengatakan bahwa komunikasi bukan hanya ketika sudah lahir tapi semenjak di dalam kandungan, setiap orang tua dapat mulai berinteraksi secara verbal kepada janin. Lalu sebagai orang tua pasti berharap, ucapannya segera dipahami dan mudah diterima sang anak, betul atau betul?

Tapi sebagai anak-anak, apakah perkataan orang tua akan langsung diterima dan dikerjakan? Bahwa ternyata, terkadang penerimaan anak tidak semudah orang tua mengeluarkan kata-kata. Semisal orang tua meminta tolong atau mengatakan sesuatu tapi si anak melengos, menunda atau bahkan menolak secara langsung. Bagaimana rasanya sebagai orang tua? Kalau saya agak gemas ya dan mulai merasakan ada perubahan hormon dalam tubuh.

Lalu kira-kira komunikasi seperti apa yang akan berpengaruh untuk menanamkan nilai-nilai postif kepada anak? Mari kita cek di dalam Al Qur’an. Ada enam cara berkomunikasi yang dijelaskan di dalamnya, antara lain:
1.      Qaulan sadida – perkataan yang benar, sesuai situasi dan kondisi, jujur. Ada di surat An Nisa ayat sembilan.
2.      Qaulan ma’rufa – perkataan yang baik, menyenangkan. Disebutkan di surat Al Baqarah 235, 263 dan masih ada di dua surat lainnya.
3.      Qaulan baligha – perkataan yang fasih dan tepat, membekas pada jiwa. Tertulis di dalam surat An Nisa ayat 63.
4.      Qaulan maisurah – perkataan yang pantas, mudah dimengerti. Di dalam surat Al Isra ayat 28.
5.      Qaulan layyinan – perkataan yang lemah lembut. Ada di surat Thoha ayat 44.
6.      Qaulan karimah – perkataan yang mulia. Dapat ditemukan di surat Al Isra ayat 23.

Masya Allah, Al Quran memang pedoman hidup terlengkap sampai pembahasan tentang perkataan sudah dipaparkan begitu jelas jenis-jenisnya. Dari keenam cara komunikasi di atas adakah ditemukan anjuran untuk berkata yang kurang baik atau negatif? Ternyata tidak ada. Tapi sayangnya, menurut Hilman Al Madani seorang psikolog dan trainer, menuliskan di fanpage Facebook Yayasan Kita dan Buah Hati, Selasa (12/12/2017) bahwa berdasarkan penelitian dari Quantum Learning, orang tua memberikan 460 kata-kata negatif dan hanya 75 komentar positif setiap harinya. Wah, hampir tujuh kali lipat lebih banyak kata-kata negatif yang dikatakan sehari.

Masih menurut Hilman, kata yang negatif itu dapat membentuk pribadi sang anak. Karena secara neurologi, semua informasi yang didengar secara berulang akan menghasilkan struktur berpikir, mengubah struktur otak dan akan mengubah struktur kepribadian. Padahal anak terlahir dengan fitrah yang baik, orangtualah yang menentukan apakah ingin upgrade atau uninstall. Jika menginginkan anak bertumbuh memiliki potensi yang baik, dibutuhkan pondasi kata-kata yang positif.

Ada kisah yang sangat patut diteladani dari sejarah Rasulullah Nabi Muhammad. Beliau pernah menghentikan turun dari mimbar – sebagaimana diriwayatkan oleh Buraidah dari ayahnya, Abu Burdah – sekedar untuk memeluk Hasan dan Husain yang saat itu terjatuh setelah berkejaran. Sesudah itu, beliau naik ke mimbar dan berkata, “Hai manusia, sesungguhnya harta dan anak-anak kalian itu fitnah dan ujian. Kalian saksikan sendiri bagaimana aku melihat anak-anak itu berlarian dan terjatuh. Ternyata aku tak sanggup melihatnya, lalu aku turun dari mimbar dan menggendong keduanya ke sini.”

Nah setiap anak pasti pernah melakukan kesalahan tapi di situlah orang tua diuji bagaimana menegur kesalahan anak dengan tepat. Kalau menurut Irawati Istadi dalam bukunya Mendidik dengan Cinta, harus dibedakan antara pribadi anak dengan perilakunya. Jangan kerdilkan pribadinya saat ia berlaku buruk. Selain itu, antara komentar negatif dan positif perlu seimbang agar omelan tidak dirasa berlebihan di mata anak. 

Seperti seorang siswa saya ketika di salah satu Madrasah Ibtidaiyah, Ponorogo. Singkat cerita, si anak mendaftar kembali di kelas satu karena di sekolah sebelumnya dia tidak mau mengikuti pelajaran, semaunya sendiri dan berhenti dari sekolah. Ketika pelajaran berlangsung, memang si anak selalu mencari perhatian ketika tidak menguasai sesuatu. Dan cenderung rendah diri.

Kami sebagai guru menanamkan nilai keyakinan, berpikir  positif sambil mengingat Allah dengan kata-kata kurang lebih seperti “Aku yakin bisa”, “Allah dulu, Allah lagi, Allah terus”, “Allah sayang dengan anak yang mendengarkan guru dan orang tua” dan lain sebagainya. Alhamdulillah perlahan tapi pasti, perubahannya mulai membaik dari segi akademis ataupun sikapnya. Tidak hanya dirasakan di lingkungan sekolah tapi juga di rumah, tentu dengan kerja sama dari orangtuanya. Karena memang sang ibu, relatif mempunyai nada suara yang tinggi dan sangat banyak tabungan kata-kata sehingga mungkin mempunyai pengaruh kepada anak.

Kita sebagai anak, pasti memiliki rekaman catatan hubungan dengan orang tua. Catatan kebahagiaan dan catatan yang melukiskan kemarahan orang tua, berupa teguran, omelan, komentar negatif atau pandangan orang tua yang gemas. Betul?

Sampai dewasa ini, saya pun bisa membandingkan dan menimbang catatan mana yang lebih berat. Bersyukur sekali, ketika catatan kebahagiaan lebih banyak, berarti hubungan saya dengan orang tua penuh kasih sayang. Namun sangat mengkhawatirkan jika timbangan kemarahan lebih berat, anak-anak akan menjadi pribadi semaunya sendiri dengan masa depan yang tidak menentu karena ketidakseimbangan perkembangan emosi.
April Fatmasari
Assalamualaikum. Saya seorang ibu rumah tangga yang belajar menjadi blogger, penulis dan Canva designer. Memiliki ketertarikan dengan kepenulisan, pengasuhan, literasi anak, terutama read aloud. Belajar berbagi memaknai kehidupan dengan tulisan. Jika ingin menjalin kerja sama, dapat dihubungi melalui april.safa@gmail.com

Related Posts

Posting Komentar