Coaching, Komunikasi yang Mencerahkan


Adit menunggu Mama yang sedang berdiskusi tugas dengan temannya, namanya Tante Melati. Ketika dilanda bosan karena lama, dia memilih untuk mengamati jalanan dari balik jendela kamar diskusi. Tante Melati yang melihat kejadian itu mendekat pada Adit dan menawarkannya untuk menggambar. Dengan menyodorkan lembaran kosong, Tante Melati memulai dialog dengan bertanya, “Apa yang mau digambar Adit?”
“Gambar sepeda,” jawab Adit.
“Tapi boleh minta tolong gambarkan sepeda? Aku nggak bisa gambarnya,” lanjutnya.
“Oke, kalau mau gambar sepeda, itu rodanya ada berapa?” tanya Tante Melati menerima tawaran menggambar dari Adit.
Adit menjawab dengan menceritakan keinginan yang dibayangkannya yaitu sepeda beroda banyak. Tante Melati yang menuruti keinginan Adit menggambarkan mobil. Dari gambar mobil itu, Adit meminta digambarkan dengan pintu mobil yang bisa dibuka dari atas. Sambil menggambar, Tante Melati masih kembali bertanya, “Kalau pintunya ada di atas, bagaimana cara naiknya?”
***
Komunikasi

Masih berlanjut percakapan selanjutnya dari Tante Melati yang berusaha menggali pikiran Adit dengan pertanyaan-pertanyaan untuk mencapai gambaran sepeda sesuai imajinasi yang diinginkannya. Nampaknya terlihat sederhana dari dialog mereka tapi itu salah satu contoh penting dalam menemani anak  dengan berdialog interaktif bukan hanya memberi instruksi saja. Kisah itui pernah sekilas membaca postingan dari salah satu kelompok Enlightening Parenting, Bu Okina Fitriani.

Ada sebuah tesis yang dilakukan oleh Sarah binti Halil bin Dakhilallah Al-Muthiri dengan judul Dialog Orang Tua dengan Anak dalam Al-Quran Karim  dan Aplikasinya dalam Pendidikan. Ditemukan dialog antara orang tua dan anak yang tersebar di 17 tempat dalam sembilan surat. Ada 14 dialog pengasuhan antara ayah dan anak, dua lainnya adalah ibu dan anak, sisanya satu dialog kedua orang tua dengan anak.

Dari rujukan Al Qur’an itu ternyata dialog adalah hal yang harus ada dalam pengasuhan. Dan sebaiknya porsi ayah lebih banyak dalam menemani anak berdialog atau berkisah, seakan temuan ayat-ayat tersebut meluruskan pemahaman bahwa mendidik anak adalah tugas ibu dan ayah yang mencari nafkah. Ini juga bukan semata pembelaan karena saya adalah seorang ibu, tapi tanpa ayah, anak kurang mempunyai kecerdasan logika yang bermakna.

Nah kembali lagi ke percakapan antara Tante Melati dan Adit yang melakukan dialog interaktif. Akan berbeda ceritanya ketika Adit meminta tolong digambarkan sepeda, Tante Melati langsung menggambarnya. Atau berhentilah imajinasi si Adit, saat Tante Melati di awal percakapan menanyakan, “Di luar ada banyak mobil, Adit mau gambar mobilnya?”

Tante Melati sedang berperan sebagai seorang coach (pelatih) yang memandu Adit untuk berimajinasi menggali cerita dan pemikirannya. Karakteristik seorang coach dapat diadaptasi dalam pengasuhan. Orang tua memandu mendampingi anak dalam aktivitasnya agar tumbuh dan berkembang optimal.
Dari beberapa rujukan buku yang saya baca dan situs www.laurencevanhanswijck.com, ada beberapa cara komunikasi orang tua melakukan choaching, antara lain:
1.    Memelihara emosi positif
Anak yang masih belum sempurna pemikirannya pasti kerap melakukan kesalahan. Sebelum melakukan coaching, ada baiknya orang tua menyelesaikan emosinya terlebih dahulu supaya yang dirasakan anak adalah radiasi emosi positif.
2.    Ajukan pertanyaan, bukan memerintah.
Perintah yang diganti dengan sebuah pertanyaan, menjadikan anak melakukan sesuatu karena idenya sendiri. Itu juga akan mengurangi anggapan bahwa orang tua adalah tukang perintah. Contoh: “Siapa yang belum merapikan mainan?”
3.    Disiplin yang positif
Dalam melakukan dialog dengan anak terkadang ada negosiasi untuk mencapai kesepakatan. Anak ditawarkan membuat komitmen sendiri untuk menjalankannya secara disiplin melalui pertanyaan. Contoh: “Kapan tepatnya Kakak merapikan mainan? Lima menit? Sepuluh menit lagi?”
4.    Letakkan makna untuk mencapai harapan dan penilaian diri
Secara teori, membuat pola kalimat yang menghubungkan kondisi nyata dalam sebab akibat. Pola ini lebih masuk ke bawah sadar daripada nasihat panjang lebar. Contoh: ”Ketika mengambil barang bukan milikmu, apa yang dinilai Allah? Jumlah atau perbuatannya?” (dijawab perbuatan)
“Jadi siapa yang boleh mengambil mangga ini?” (dijawab pemilik rumahnya)
5.    Menghargai sikap dan pribadinya
Semua orang tua pasti ingin memiliki anak dengan sikap yang baik. Ketika coaching dirasa telah berhasil, bisa ditutup dengan ucapan terima kasih atau memuji perubahan baiknya.

Dari beberapa yang saya jabarkan di atas, ada kemungkinan, jawaban setiap anak juga berbeda-beda di luar ekspektasi orang tua. Sehingga butuh proses membangun kedekatan pada anak dengan melakukan komunikasi dan kegiatan yang berkuantitas serta berkualitas.

Dan yang perlu diingat bahwa komunikasi bukan sekedar menyampaikan pesan. Perlu strategi komunikasi yang baik supaya menjadi orang tua yang membimbing dan memandu anak, bukan bersifat bossy. Salah satu caranya dengan menerapkan coaching dalam pengasuhan.
April Fatmasari
Assalamualaikum. Saya seorang ibu rumah tangga yang belajar menjadi blogger, penulis dan Canva designer. Memiliki ketertarikan dengan kepenulisan, pengasuhan, literasi anak, terutama read aloud. Belajar berbagi memaknai kehidupan dengan tulisan. Jika ingin menjalin kerja sama, dapat dihubungi melalui april.safa@gmail.com

Related Posts

Posting Komentar